Inilah Sejarah Hijab Di Indonesia
Untuk wanita yang beragama Islam, tentu kenakan jilbab atau hijab sudah
merupakan suatu kewajiban. Bicara tentang jilbab di Indonesia, terlebih
tentang sejarahnya bukanlah perkara gampang. Satu hal yang pasti, mulai
sejak era ke 19, penggunaan jilbab sudah diperjuangkan di orang-orang.
Hal semacam itu tampak dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau.
Gerakan revolusioner ini, ikut memperjuangkan penggunaan jilbab di
orang-orang.
Ilustrasi wanita pada saat PaderiIlustrasi wanita pada masa Paderi
Saat
itu, sebagian besar orang-orang Minangkabau tak demikian menghiraukan
syariat Islam, hingga sangat banyak berlangsung kemaksiatan. Melihat
itu, beberapa ulama paderi tak tinggal diam. Mereka mengambil keputusan
untuk mengaplikasikan syariat Islam di Minangkabau, termasuk juga
ketentuan penggunaan jilbab serta cadar.
Wanita Minangkabau pada th. 1908-1940Perempuan Minangkabau pada th. 1908-1940
Di
Aceh, seperti juga di Minangkabau, dimana dakwah Islam demikian kuat,
dampak Islam juga meresap sampai ke ketentuan kenakan pakaian dalam
kebiasaan orang-orang Aceh. Kebiasaan Aceh mengambil keputusan, “orang
mesti kenakan pakaian sedemikian rupa hingga semua tubuh sampa kaki
mesti ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka sudah berbadju,
bercelana, serta berkain sarung. Ketjantikan serta masuk angin telah
terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja mesti ditutup dengan selendang
atau mungkin dengan kain sendiri.
Di Sulawesi Selatan, Arung
Matoa (penguasa) Wajo, yang di panggil La Memmang To Appamadeng, yang
berkuasa dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Terkecuali
pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan kerudung untuk
orang-orang Wajo.
Di pulau Jawa, banyak wanita muslim yg tidak menutupi kepala, mendorong
gerakan reformis muslim menyiarkan keharusan jilbab. Pendiri
Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan serta menyebutkan bahwa
jilbab yaitu keharusan untuk wanita Muslim mulai sejak 1910-an. Ia
lakukan dakwah jilbab ini dengan cara bertahap.
Awalannya ia
meminta untuk menggunakan kerudung walau rambut tampak beberapa. Lalu ia
merekomendasikan mereka untuk menggunakan Kudung Sarung dari Bombay.
Tidak cuma itu, ia mendorong wanita untuk belajar serta bekerja,
seumpama jadi dokter, ia terus mengutamakan wanita untuk tutup aurat
serta lakukan pembelahan pada laki-laki serta wanita.
Organisasi
Al Irsyad juga ikut menyuarakan keharusan jilbab untuk beberapa wanita.
Di Pekalongan, Jawa Tengah, kongres Al Irsyad sudah mengulas isu-isu
wanita yang berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan Kelompok
al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya merekomendasikan anggota
wanitanya untuk menutupi kepala serta badan mereka terkecuali muka serta
telapak tangan.
Usaha memperjuangkan jilbab tidak sedikit memperoleh pertentangan.
Perang kalimat lewat mass media memberi warna masa 1930-40an. Majalah
Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tak
mensupport keharusan jilbab. Majalah ini bersitegang dengan sebagian
pihak. Sikap PAI yg tidak mengaturi masalah jilbab ini memperoleh
kritikan dari Siti Zoebaidah lewat majalah Al Fatch. Melalui majalah
punya Aisyiyah –organisasi wanita yang menginduk pada Muhammadiyah- ini,
Siti Zoebaidah menyatakan bahwa harus untuk golongan muslimat
menggunakan jilbab.
Sekolah Guru Putri. Photo diprediksikan dari th. 1950-anSekolah Guru Putri. Photo diprediksikan dari th. 1950-an
Bila pada saat saat sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai
masalah di mass media, tetapi di orde baru perjuangan jilbab makin
berat. Perjuangan umat Islam terutama muslimah memperoleh tentangan
keras dari pemerintah, terutama petinggi dinas pendidikan serta pihak
militer.
Dominasi militer ini sangatlah dirasa oleh beberapa ulama. Ruangan gerak
mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama kerapkali mesti berbenturan
dengan pihak militer yang sering dirasa juga sebagai anti Islam.
Karakter birokrasi militer yang kaku sudah bikin kelompok Islam
menjumpai kesusahan untuk memperjuangkan aspirasinya supaya di terima
oleh pemerintah, termasuk juga dalam permasalahan jilbab di kelompok
pelajar putri.
Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh yaitu masuknya
watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan
wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No. 052 th. 1982
nampaknya memberikan indikasi hal semacam itu.
Didalam SK itu, sesungguhnya tak dilarang pemakaian jilbab oleh
pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri, cuma saja, apabila mereka
mau menggunakan jilbab di sekolah, jadi mesti keseluruhannya pelajar
putri di sekolah menggunakan jilbab.
Awal th. 1980-an memanglah adalah periode perseteruan pada Islam serta
Pemerintah. Ke-2 pihak sama-sama berlawanan atau perseteruan pada Islam
serta pemerintah. Ke-2 pihak sering berseteru. Politik Pemerintah Orde
Baru yang represif pada umat Islam ikut memperkeruh masalah ini.
Pada masalah jilbab ini, Depdikbud rupaya tak dapat menutupi sikap
curiganya pada siswi berjilbab. Seperti pada masalah Tri Wulandari di
Jember. Pihak Kodim 0824 Jember pernah memanggilnya lantaran dicurigai
juga sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab ketika itu dikira juga sebagai
perwujudan gerakan politik yang meneror pihak pemerintah.
Pergi dari fakta-kenyataan diatas, jadi tak mengherankan apabila ada
siswi berjilbab sebagai korban. Pelajar-pelajar berjilbab hingga ada
yang dikeluarkan serta dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti
gerakan laten PKI, diinterogasi di ruangan BP, dikejar-kejar kepala
“robot” sekolah yang senantiasa berlindung dibalik kalimat, “Saya cuma
melakukan perintah atasan. ”, lalu dimaki-maki oleh orangtua sendiri,
serta lain sebagainya.
Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA,
serta SGA Tangerang, Bekasi, serta Jakarta juga ajukan memprotes ke
DPRD DKI Jakarta menuntut supaya dibolehkan ikuti pelajaran dengan terus
kenakan pakaian muslimah.
Perjuangan penggunaan jilbab sepanjang bertahun-tahun, yang diwarnai
sikap represif aparat, pendidik serta petinggi pada akhirnya membawa
hasil. Keringat, derita, stigma serta air mata untuk melindungi
kemuliaan wanita itu dapat mejadi pembuka jalan untuk diterimanya jilbab
di Indonesia.
Bagaimanakah juga, untuk muslimah, penggunaan jilbab yaitu sistem yang
melibatkan dua segi yang sama-sama bertalian, yakni kesadaran pribadi
sekalian misal di orang-orang. Makin banyak yang berjilbab, bagaimanapun
bakal makin gampang untuk muslimah lain untuk turut memakainya. Jadi
beberapa muslimah pelopor jilbab di orang-orang di saat lantas yaitu
beberapa pelopor yang pada akhirnya meramaikan penggunaan jilbab di
orang-orang kita sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar